Beranda | Artikel
Sifat Wara
Rabu, 22 Juni 2022

SIFAT WARA’

كُنْ وَرِعًا تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ

“Jadilah orang yang wara’ niscaya engkau menjadi manusia yang paling beribadah”

Sesungguhnya orang yang mengenal Rabb-nya dan menempatkan-Nya sebagaimana mestinya, mengagungkan larangan dan syi’ar-syi’ar-Nya, akan melakukan pengagungan sampai kepada sikap hati-hati dari setiap perkara yang bisa menyebabkan kemurkaan Allah Subhanahu wa Ta’ala di dunia maupun di akhirat.

Maka wara’ di sisi-Nya termasuk jenis takut yang membuat seseorang meninggalkan banyak hal yang dibolehkan, jika hal itu menjadi samar atasnya bersama yang halal agar tidak merugikan agamanya.

Di antara tanda yang mendasar bagi orang-orang yang wara’ adalah kehati-hatian mereka yang luar biasa dari sesuatu yang haram dan tidak adanya keberanian mereka untuk maju kepada sesuatu yang bisa membawa kepada yang haram. Dan dalam hal itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لاَيَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ, فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ.

Sesungguhnya yang halal dan yang haram itu jelas. Dan di antara keduanya banyak hal-hal syubhat yang kebanyakan orang tidak mengetahuinya. Barangsiapa yang menjaga diri dari hal-hal yang syubhat maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya.”[1]

Dan barangsiapa yang bertindak berani di tempat-tempat yang diragukan, niscaya bertambahlah keberaniannya terhadap sesuatu yang lebih berat: “Dan sesungguhnya orang yang bercampur keraguan, hampir-hampir ia berani (kepada yang diharamkan).”[2]

Maka wara’ yang sebenarnya adalah seperti yang digambarkan oleh Yunus bin ‘Ubaid rahimahullah: yaitu keluar dari semua yang syubhat dan muhasabah (introfeksi) terhadap diri sendiri di setiap kedipan mata.[3]

Perjalanan kejatuhan berawal dengan satu kali terpeleset, dan semangat terhadap akhiratnya menjadikan di antaranya dan terpelesetlah tameng yang menutupi dan menjaganya. Syaikh al-Qubbari rahimahullah mengisyaratkan kepada pengertian ini dengan katanya: ‘Yang makruh adalah dinding penghalang di antara hamba dan sesuatu yang haram. Maka barangsiapa yang banyak melakukan yang makruh berarti ia menuju kepada yang haram. Dan yang mubah merupakan dinding pemisah di antaranya dan yang dimakruhkan. Maka barangsiapa yang memperbanyak yang mubah niscaya ia menuju kepada yang makruh.’[4] Ibnu Hajar rahimahullah memandang baik perkataannya ini dan ia menambahkan: ‘Sesungguhnya yang halal, sekiranya dikhawatirkan bahwa melakukannya secara mutlak bisa menyeret kepada yang makruh atau haram, semestinya meninggalkannya, seperti memperbanyak yang halal. Sesungguhnya hal itu membutuhkan banyak kerja yang dapat menjatuhkan diri seseorang dalam mengambil yang bukan haknya atau membawa kepada penolakan jiwa. Dan sekurang-kurangnya adalah tersibukkan dari ibadah (maksudnya, tidak ada waktu untuk beribadah, pent.). Hal ini sudah diketahui berdasarkan pengalaman dan disaksikan dengan pandangan mata.[5]

Ciri mendasar pada seseorang yang bersifat wara’ adalah kemampuannya meninggalkan sesuatu yang hanya semata-mata ada keraguan atau syubhat, seperti yang dikatakan oleh al-Khaththabi rahimahullah: ‘Semua yang engkau merasa ragu padanya, maka sifat wara’ adalah menjauhinya.’[6] Imam al-Bukhari rahimahullah mengutip perkataan Hasan bin Abu Sinan rahimahullah: ‘Tidak ada sesuatu yang lebih mudah dari pada sifat wara’: “Tinggalkanlah sesuatu yang meragukanmu kepada sesuatu yang tidak meragukanmu.”[7] Sebagaimana diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

البِرُّ مَا سَكَنَتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَاطْمَأَنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ وَاْلإِثْمُ مَالَمْ تَسْكُنْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَلَمْ يَطْمَئِنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ –وَإِنْ أَفْتَاكَ الْمُفْتُوْنَ

Kebaikan adalah sesuatu yang jiwa merasa tenang dan hati merasa tenteram kepadanya, sedangkan dosa adalah sesuatu yang jiwa tidak merasa tenang dan hati tidak merasa tenteram kepadanya, sekalipun orang-orang memberikan berbagai komentar kepadamu.”[8] Dan yang memperkuat hal itu adalah atsar yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asakir rahimahullah secara mursal:

مَا أَنْكَرَهُ قَلْبُكَ فَدَعْهُ

“Sesuatu yang diingkari hatimu, maka tinggalkanlah.”[9]

Orang-orang yang memiliki kedudukan yang tinggi selalu bersikap prefentif untuk diri mereka sendiri dengan berhati-hati dari sebagian yang halal yang bisa membawa kepada sesuatu yang makruh atau haram. Diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

لاَيَبْلُغُ الْعَبْدُ أَنْ يَكُوْنَ مِنَ الْمُتَّقِيْنَ حَتَّى يَدَعَ مَالاَبَأْسَ بِهِ حَذَرًا مِمَّا بِهِ بَأْسٌ

Seorang hamba tidak bisa mencapai derajat taqwa sehingga ia meninggalkan yang tidak dilarang karena khawatir dari sesuatu yang dilarang.”[10]

Hal ini diperkuat oleh hadits yang lain:

اجْعَلُوْا بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ الْحَرَامِ سِتْرًا مِنَ الْحَلاَلِ…

Jadikanlah dinding (tirai) yang halal di antara kamu dan yang haram …”[11]

Ibnu al-Qayyim rahimahullah menceritakan pengalamannya bersama Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah: Syaikhul Islam berkata kepadaku pada suatu hari tentang sesuatu yang mubah (boleh): ‘Ini menghalangi kedudukan yang tinggi, sekalipun meninggalkannya bukanlah syarat dalam keselamatan.”[12]

Sebagaimana wara’ meliputi gambaran-gambaran usaha dan hubungan mu’amalah, maka sesungguhnya ia juga mencakup lisan. Sesungguhnya engkau menemukan kebanyakan orang bersegera memberi fatwa, sedangkan mereka tidak mengetahui. Karena itulah, ad-Darimi rahimahullah membuat satu bab yang berbunyi: Menahan diri (bersikap wara’) dari menjawab sesuatu yang tidak ada dalam al-Qur`an dan sunnah.’ Ishaq bin Khalaf rahimahullah memandang sikap wara` dalam ucapan lebih utama daripada sikap wara` dalam hubungan yang berkaitan dengan harta, di mana dia berkata: ‘Wara’ dalam tuturan kata lebih utama daripada emas dan perak…[13]

Di antara renungan Ibnu al-Qayyim rahimahullah dalam hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia menyatakan bahwa sesungguhnya: ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan semua sifat wara’ dalam satu kata, maka beliau bersabda:

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَالاَيَعْنِيْهِ

Termasuk tanda baik keislaman seseorang, ia meninggalkan hal-hal yang tidak penting baginya.”[14]

Dan di antara hasil yang nampak bagi sikap wara’ bahwa ia memelihara pelakunya dari terjerumus (dalam hal yang dilarang), karena itulah engkau menemukan: Barangsiapa yang melakukan yang dilarang, ia menjadi gelap hati karena tidak ada cahaya wara’, maka ia terjerumus dalam hal yang haram, kendati ia tidak memilih untuk terjerumus padanya. Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Hajar rahimahullah.[15] Dan dalam hadits ifki (berita bohong), ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata tentang Zainab radhiyallahu ‘anha, di mana ia menjaga pendengaran dan penglihatannya dari terjerumus dalam perkara yang ia tidak mengetahui: ‘Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menjaganya dengan sifat wara’[16]

Sebagaimana orang yang wara’ memelihara agama dan kehormatannya dari celaan:

فَمَنْ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ

“…Maka barangsiapa yang menahan diri dari yang syubhat, niscaya ia telah membersihkan agama dan kehormatannya, …”[17]

Ibnu Hajar rahimahullah berkata: ‘Dalam hadits ini menjadi dalil bahwa barangsiapa yang tidak menjaga diri dari yang syubhat dalam usaha dan kehidupannya, berarti ia telah menawarkan dirinya untuk mendapat celaan. Dan dalam hal ini menjadi isyarat untuk memelihara perkara-perkara agama dan menjaga sikap muru`ah.’[18]

Maka apabila wara’ merupakan kedudukan ibadah yang tertinggi:

كُنْ وَرِعًا تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ

Jadilah orang yang wara’ niscaya engkau menjadi manusia paling beribadah.”[19]

Dan jika agama yang paling utama adalah sikap wara’:

خَيْرُ دِيْنِكُمْ الوَرَعُ

Sebaik-baik agamamu adalah sikap wara’[20]

Apakah juru dakwah yang beriman tidak mau menaiki puncak tersebut dan menjaga dirinya dari terjatuh dan terjerumus. Dia harus menjaga diri dan berhati-hati agar amal ibadahnya tidak gugur sedangkan dia tidak mengetahui.

Maka sesungguhnya banyak para sahabat yang takut dari sifat nifaq terhadap diri mereka, dan Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan alasan tersebut dengan penjelasanannya: Rasa takut mereka dari sifat nifaq tidak  berarti adanya sifat itu pada diri mereka, bahkan hal itu merupakan sikap wara’ dan taqwa yang luar biasa dari mereka radhiyallahu ‘anhum jami’an.

Seperti inilah sifat mereka, maka hendaklah kita melakukan intropeksi terhadap diri kita dan menimbang amal perbuatan kita sendiri.

Kesimpulan:

  1. Wara’ adalah sikap takut yang mendorong seseorang untuk meninggalkan perbuatan yang boleh, sebagai sikap kehati-hatian.
  2. Di antara tanda-tanda sifat wara’ adalah:
    • Sangat berhati-hati dari yang haram dan syubhat.
    • Membuat pembatas di antaranya dan yang dilarang.
    • Menjauhi semua yang diragukan.
    • Tidak berlebihan dalam persoalan yang boleh.
    • Tidak memberikan fatwa tanpa berdasarkan ilmu.
    • Meninggalkan perkara yang tidak berguna.
  3. Di antara buah wara’ adalah:
    • Menjaga diri dari istidraj.
    • Menjaga agama dan kehormatan.
  4. Di antara sikap wara’ para sahabat bahwa mereka sangat khawatir terhadap diri mereka dari sifat nifaq.

[Disalin dari صفة الورع Penulis  Mahmud Muhammad al-Khazandar, Penerjemah : Team Indonesia. Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad. Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah. IslamHouse.com 2008 – 1429]
______
Footnote
[1] HR. al-Bukhari, kitab al-Iman, no. 52, dan Muslim, kitab al-Musaqah, no. 1599 dan 107.
[2] Sunan Abu Daud, kitab buyu’ (jual beli), bab ke-3 no. 3329
[3] Tahdzib Madarijus Salikin, hal. 290.
[4] Fath al-Bari 1/127, saat menjelaskan hadits no. 52. dari kitab al-Iman, bab ke-39.
[5] Fath al-Bari 1/127
[6] Fath al-Bari 4/293, dari syarah bab ke-3, dari kitab Buyu’
[7] Shahih al-Bukhari, dari judul bab ke-3, dari kitab al-Iman
[8] Shahih al-Jami’ no. 2881 (Shahih).
[9] Shahih al-Jami’ no. 5564 (Shahih)
[10] HR. at-Tirmidzi dan ia menyatakan hasan.
[11] Shahih al-Jami’ no. 152 (Shahih).
[12] Tahdzib Madarijus salikin hal. 292.
[13] Tahdzib Madarijus salikin hal. 290.
[14] HR. at-Tirmidzi no. 2318 (Hasan).
[15] Fath al-Bari 1/127-128, saat menerangkan bab ke-39 dari kitab al-Iman.
[16] Shahih al-Bukhari, kitab Maghazi, bab ke-34, hadits no. 4141.
[17] Shahih al-Bukhari, kitab al-Iman, bab ke-39, hadits no. 52.
[18] Fath al-Bari 1/127.
[19] Shahih al-Jami’ no. 4580 (Shahih).
[20] Shahih al-Jami’ no. 3308.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/58418-sifat-wara.html